Selain dimensi vertikal sebagai kewajiban kepada Allah, zakat juga memiliki dimensi horizontal dalam bentuk memberikan harta yang dimiliki, karena di dalamnya terdapat hak-hak orang lain.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah, untuk membersihkan orang yang berpuasa dari lontaran kata yang tidak bermanfaat dan kotor, serta untuk memberi makanan kepada orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud).
Dalam hadits ini, zakat fitrah dapat menambal celah kurang ibadah puasa.
Menabrak etika puasa seperti berkata dusta, sebenarnya sudah Nabi saw isyaratkan untuk dihindari, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan tidak meninggalkan perbuatan yang diakibatkan ucapan dustanya, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya”. (HR Bukhari).
Namun, menurut Muhammad Yasir, munculnya kewajiban zakat fitrah bukan karena masalah itu.
Yusuf Qaradhawi menulis dalam Fiqhu al-Zakat, zakat fitrah diwajibkannya karena berakhirnya bulan Ramadhan yang dibolehkan berbuka.
Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam Fath al-Qarib al-Mujib berkata sama, karena terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan.
Dalam zakat harta yang dikeluarkan adalah hak orang lain pada harta itu.
Sedangkan dalam zakat fitrah yang dikeluarkan adalah untuk membayar diri atau badan setiap orang.
Nabi saw bersabda, “Wajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan, kepada orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki, perempuan dari kaum muslimin”. (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sejarah, urai Muhammad Yasir, zakat fitrah pertama kali disyariatkan pada tahun kedua hijrah, berbarengan dengan diwajibkannya puasa Ramadhan.