ACEHINSPIRASI.com – Dedy Permadi mengatakan Disorder informasi salah satu tantangan terbesar di era digital, dan kita harus bersatu untuk melawannya. Disorder informasi mencakup penyebaran informasi yang salah, baik disengaja maupun tidak disengaja. Dalam dunia digital, fenomena ini muncul dalam tiga bentuk utama: misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Ketiga bentuk ini memiliki dampak besar terhadap stabilitas sosial dan politik suatu negara.
Misinformasi merujuk pada informasi yang salah tetapi disebarkan tanpa niat buruk, seperti kesalahan dalam memahami data. Sebaliknya, disinformasi adalah informasi salah yang disebarkan dengan sengaja untuk menyesatkan publik. Malinformasi, yang paling berbahaya, menggunakan informasi yang benar tetapi disebarkan dengan niat untuk merugikan pihak tertentu. Contohnya adalah perundungan siber atau penyebaran kebencian berbasis fakta pribadi.
Tantangan ini semakin besar di masa pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, Kominfo mencatat lebih dari 2.020 hoaks terkait COVID-19 yang beredar di ruang digital, dengan 1.759 di antaranya berhasil dihapus. Hoaks ini mencakup informasi palsu tentang vaksin, klaim pengobatan alternatif, hingga teori konspirasi yang tidak berdasar. Penyebaran hoaks ini tidak hanya membahayakan individu tetapi juga mengganggu upaya pemerintah dalam menangani pandemi.
Untuk melawan disorder informasi, pemerintah telah mengambil berbagai langkah konkret. Gerakan Nasional Literasi Digital menjadi salah satu program utama yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Platform literasidigital.id menyediakan panduan, video, dan infografis yang membantu masyarakat mengenali dan menangkal informasi palsu. “Literasi digital adalah kunci untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk disorder informasi,” kata Dedy Permadi.






