Lanjutnya, masalah transisi kecenderungan balik ke otoritarian karena aktor utama dari transisi itu merupakan tokoh-tokoh yang masih merupakan bagian dari rezim otoritarian atau sistem demokrasi digantikan oleh bentuk-bentuk pemerintahan otoriter yang baru.
“Tidak ada fakta atau kompromi antara kelompok status quo dengan kelompok pro demokrasi untuk memberantas semua bentuk penghadangan gerak ke demokrasi mengagendakan sejumlah perubahan signifikan ke arah demokrasi,” tegasnya.
Selain itu, Problem Pelembagaan Demokrasi di Indonesia (Perspektif Sistem), penerapan demokrasi prosedural yang cenderung artifisial menjadi penyebab tidak terbentuknya konsensus mengenai demokrasi di berbagai kalangan masyarakat.
“Pengabaian demokrasi prosedural terhadap kondisi-kondisi struktur sosial-ekonomi yang berakibat
terbentuknya struktur ekonomi berbasis etnis kembalinya negara patrimonial dan politik identitas dalam tata politik Indonesia modern,” terangnya.
Serta, Problem Pelembagaan Demokrasi di Indonesia (Perspektif Aktor), fenomena ‘pembajakan’ demokrasi yaitu birokrasi masih tetap didominasi oleh orang-orang yang dididik di bawah rezim otoriter, yang banyak terlibat korupsi, sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melayani kepentingan publik.
Muncul aktor-aktor baru dalam pentas politik yang memanfaatkan peluang demokratisasi untuk kepentingan mereka (free riders).
Konsekuensi terbangunnya model demokrasi semu (pseudo democracy), prosedur dan institusi demokrasi modern secara formal diadopsi, namun substansi permainan berada di luar skenario yang diinginkan oleh demokrasi murni. Kegagalan demokrasi mewujudkan kesejahteraan, tidak ada pelembagaan nilai-nilai demokrasi.