“Bagi perusahan yang dianggap melanggar izin, maka Pemerintah Aceh nanti harus berani mengambil sikap, apakah sanksi administrasi atau sanksi pembekuan izin. Atau sampai pencabutan izin.
Saya kira itu sikap yang dinantikan masyarakat dalam konteks apa yang terjadi Aceh Barat saat ini, dimana dominannya paling tinggi angka protesnya di Aceh Barat,” pungkasnya.
Sementara itu, Sub Koordinator Standarisasi dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan DLHK, Muhammad Subhan mengungkapkan bahwa DLHK Aceh terus mendorong dilakukannya kajian lokal mengenai dampak ceceran tumpahan batu bara di sekitar lautan.
Subhan menekankan pentingnya mengetahui sejauh mana tumpahan tersebut mempengaruhi ekosistem laut, serta menyoroti perlunya evaluasi reklamasi di area bekas tambang.
Dalam rangka menjaga kualitas lingkungan, Subhan menyebutkan pihaknya melakukan pemantauan dan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengawasan tidak langsung dilakukan dengan mengevaluasi laporan yang diberikan perusahaan setiap tiga bulan. Laporan tersebut mencakup berbagai aspek, seperti pengelolaan limbah, pencemaran air, kualitas udara, dan lainnya.
Sementara itu, pengawasan langsung dilakukan setidaknya satu hingga dua kali dalam setahun. Subhan menyampaikan bahwa DLHK Aceh merespons cepat jika ada pengaduan dari masyarakat atau pemberitaan yang mengindikasikan adanya pencemaran lingkungan.
“Itu upaya-upaya yang kita lakukan dalam memitigasi serta memantau apa yang sudah dilakukan oleh perusahaan,” pungkasnya.