Reza Hendra Putra, Ketua Umum BADKO HMI Aceh. (Foto: Istimewa)
Banda Aceh, Acehinspirasi.com l Sejarah bukan catatan mati. Ia hidup, bergerak, dan kadang kembali menghantui ketika kita gagal belajar darinya. Dan hari ini, sejarah Aceh kembali mengetuk keras pintu Republik karena Jakarta sekali lagi mengulangi dosa yang sama mengambil keputusan tentang tanah Aceh tanpa mendengar suara Aceh.
Pada April 2025, Menteri Dalam Negeri menetapkan bahwa empat pulau yang selama ini merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek dialihkan ke wilayah Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Dasarnya keputusan administratif pusat, yang mengaku sedang “memutakhirkan kode wilayah.”
Namun, bagi kami generasi muda Aceh, ini bukan hanya soal kode wilayah. Ini soal kode harga diri. Empat pulau itu bukan sekadar titik di peta, tetapi simbol perlawanan terhadap arogansi pusat yang merasa bisa menggambar ulang Aceh sesukanya.
Tahun 1950, Pemerintah Pusat juga bertindak sepihak. Dengan alasan rasionalisasi pemerintahan, Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Tak ada konsultasi, tak ada musyawarah. Hanya keputusan yang turun dari langit Jakarta. Apa yang terjadi kemudian?
Teungku Muhammad Daud Beureueh, ulama besar sekaligus Gubernur Militer Aceh, menilai bahwa negara telah mengingkari janji dan menghina rakyat Aceh.
Maka pada 21 September 1953, Aceh menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) bukan karena kebencian terhadap republik, tapi karena cinta yang dikhianati.






