Karena menurutnya, tidak semua pelaku usaha tersebut membuka dagangannya di pagi hari.
Semisal katanya, kuliner yang berjualan menggunakan rak, seperti penjual Juice, nasi goreng dan kuliner lainnya yang hanya membuka usahanya pada malam hari saja, seperti di kawasan Peunayong, Simpang Surabaya, dan sejumlah tempat lainnya.
“Jadi mereka ada yang hanya berjualan sejak menjelang magrib hingga larut malam sampai habis dagangannya. Namun dikarenakan adanya aturan pembatasan jam berjualan di tempat usaha, walhasil pendapatan hasil jualan mereka menjadi tidak sepadan. Karena diatas pukul 23.00 Wib, barang dagangan mereka sudah harus take way (bawa pulang),” sebut Daniel.
Menurut Daniel, setidaknya minimal ada dispensasi bagi mereka mereka yang berjualan mulai pukul 19.00 WIB.
“Kan sayang mereka yang hanya mulai buka usaha pukul delapan malam,
goh lagoet ka payah toep (belum laku sudah harus tutup-red), dan tentu saja mereka mengalami kerugian karena dagangannya belum laku habis,” papar Daniel.
Selain itu tambah Daniel, keluhan lainnya juga datang dari para pelaku usaha warung kopi yang sudah mengikuti aturan, yakni menutup warungnya pada pukul 23.00 WIB, namun hanya karena masih adanya pelanggan yang masih duduk nongkrong di warung mereka ketika petugas datang melihat langsung dilakukan penyegelan. Akibatnya, pemilik warung menjadi korban.
Oleh karenanya, menurut Daniel terkait hal tersebut perlu menjadi pertimbangan dan dilakukan pengkajian ulang terkait proses penegakkan yang dilakukan, yakni komprensif, sistematis, dan terukur.