Oleh: Dr H Taqwaddin, S.H., S.E., M.S.
Beberapa hari ini, banyak media massa memberitakan Putusan Hakim Yang Menghukum Nihil. Putusan ini menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang. Kami termasuk orang yang ditanyai terkait putusan tersebut.
Tulisan ini tidak membahas kasus konkrit dan putusan tersebut. Kami hanya akan membahas masalah ini dari perspektif normatif dan teoritis semata.
Jika kita cermati Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ditegaskan ada beberapa jenis hukuman pidana, yaitu Pidana Pokok yang terdiri dari : 1. Pidana mati, 2. Pidana penjara, 3. Pidana kurungan, 4. Pidana denda, dan 5. Pidana tutupan. Selain Pidana Pokok di atas, juga dapat disertai dengan Pidana Tambahan, berupa : 1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, dan 3. Pengumuman putusan hakim.
Menurut Pasal 11 KUHP, Pidana Mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Namun menurut UU No 2/PNPS/1964 juntho UU No 5 Tahun 1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yang saat ini dijabarkan dengan Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Berdasarkan ketentuan terakhir di atas yang berlaku saat ini, yaitu tata cara pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati oleh satu regu penembak, yang dilakukan disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan tingkat pertama, terkecuali ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman.