Konsekuensi dari arah pandang yang mengandalkan prinsip keuangan yang maha kuasa, maka menjadikan partai bukan lagi sebagai wadah menampung aspirasi rakyat untuk diolah menjadi usulan-usulan kebijakan publik. Tetapi justru telah menjadikan partai bagaikan perusahaan yang harus mencari sebanyak mungkin laba finansial bagi keberlangsungan partai tersebut.
Kepentingan atau aspirasi rakyat hanya menjadi atas nama saja. Tidak sungguh-sungguh diperjuangkan. Jikapun diperjuangkan hanya seadanya saja. Itupun lebih untuk mendongkrak popularitas dalam rangka mencari suara pada pemilu berikutnya.
Apakah semua problema ini merupakan kesalahan tunggal dari para pengurus partai atau kesalahan dari orang-orang yang menamakan dirinya para calon legislative ? Tidak.
Rakyat sebagai konstituen atau pemilih pada pemilu juga harus disalahkan. Rakyat pun harus ikut bertanggungjawab atas amburadulnya sistem penyelenggaraan politik dan pemerintahan akibat kedaulatan keuangan yang maha kuasa akhir-akhir ini.
Selama dua dekade ini, tepatnya setelah reformasi selesai, rakyat memperlihatkan sikap pikir yang instan dan pragmatis. Dalam kondisi pendidikan dan pendapatan keluarga yang sebagian besar rakyat kita belum begitu membaik, maka fakta jual beli suara masih marak dalam arena pemilu. Istilah serangan fajar sudah demikian makruf dan dimaklumi. Begitu banyak jargon yang menjadi meme terkait hal ini berseliweran dalam media sosial.
Tidak saja pada area legislatif. Pada wilayah eksekutif pun lebih marak lagi implementasi keuangan yang maha kuasa.