Oleh: Nazaruddin, SH
Refleksi 17 tahun tsunami Aceh
Ketika itu matahari pagi di ufuk timur kelihatan begitu cerah. Saya mesti mempersiapkan segala sesuatunya karena lagi ada kerjaan perkerasan jalan di desa_desa dalam kecamatan Tanah Luas. Para sopir truck sudah antri di depan kantor untuk mengambil uang BBM buat operasi pengangkutan galian C untuk pekerjaan pengerasan jalan
Setidaknya ada pulahan truck yang sudah mengantri di jalan Masjid Besar An-Nur Blangjruen. Itulah pagi hari dimana tiba tiba goncangan datang . Bumi rasanya mau terbelah, semua kami keluar dari ruangan berhamburan kejalan sambil ber istifar merasakan apa yang sedang terjadi.
Saya melihat pokok asan dipinggir jalan tidak jauh dari kantor kami bergoyang rasanya mau tumbang. Masih terasa bagaimana gemuruh bumi mengeluarkan suara. Durasi gempa yang panjang dengan kekuatan 9,2. skala richter telah menyebabkan truck- truck yang parkir berjejeran di depan kantor kami saling beradu bertabrakan akibat goncangan yang begitu kuat dan inilah hari dari satu kisah di tanggal 26 Desember tahun 2004 yang menjadi catatan sejarah baru bagi Aceh kedepannya.
Tidak lama kemudian saya naik motor, rencana mau keliling memantau situasi sekitaran Blangjruen, Nibong simpang Rangkaya. Namun tiba tiba sesampai di depan Masjid Nibong saya melihat beberapa orang sedang berlari sambil berteriak minta tolong “IE RAYA EIT PUCOK BAK U” ( Air banjir setinggi pokok kelapa ). lantas saya menyetop mereka menanyakan kenapa berlari dari mana dan apa yang terjadi. Dengan nafas tersendat sendat mereka mengatakan dari tanah pasir ditempatnya ada air laut. meluap setinggi pohon kelapa.